Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ajudan Bupati Bandung Barat Halangi Jurnalis: Pokja Wartawan Angkat Bicara

Rabu, Maret 19, 2025 | Rabu, Maret 19, 2025 WIB Last Updated 2025-03-19T03:57:04Z
Bandung Barat, neodetik.news – Pers kembali mendapat tamparan keras, bukan dari pembaca yang kritis atau redaktur yang galak, tapi dari orang yang seharusnya paham bahwa tugas jurnalis dilindungi undang-undang. Kali ini, ajudan Bupati Bandung Barat telah melakukan intervensi dan menghalangi kerja wartawan saat meliput bencana alam di lapangan, Selasa (18/3/2025).

Akibat insiden ini, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Bandung Barat, M. Raup, beserta jajaran pengurusnya menggelar Rapat Koordinasi Darurat di Posko Pokja KBB. Dalam rapat tersebut, mereka menegaskan bahwa kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang tidak boleh diinjak-injak, bahkan oleh ajudan pejabat sekalipun.

"Tugas dan kerja jurnalis itu dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jadi, siapa pun yang menghalangi, siap-siap berhadapan dengan hukum," tegas M. Raup, dengan nada yang lebih tegas dari sekadar janji kampanye.

Pasal 18 UU Pers: Ancaman Penjara untuk Siapa Pun yang Menghalangi Pers

Sebagai pengingat bagi pihak-pihak yang mungkin lupa atau pura-pura lupa, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik bisa dipenjara hingga dua tahun atau didenda maksimal Rp500 juta.

"Ini bukan hanya tentang hak jurnalis, tetapi juga hak masyarakat mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Kalau jurnalis dihalangi, lalu siapa yang akan mengabarkan kebenaran? Pak RT?" sindir M. Raup dengan nada penuh ironi.

Tindakan ajudan Bupati Bandung Barat ini bukan hanya merugikan para jurnalis, tetapi juga membahayakan demokrasi dan kebebasan pers. Jika ajudan saja sudah berani bertindak seperti ini, jangan heran kalau nanti ada ajudan-ajudan lain yang lebih berani bertingkah ala "bodyguard informasi", memilih mana berita yang boleh tayang dan mana yang harus dihapus dari catatan sejarah.

"Kami bukan musuh pejabat, tapi kalau kerja jurnalistik kami dihalangi, jangan salahkan kalau publik mulai bertanya-tanya: apa yang sedang disembunyikan?" lanjut Ketua Pokja dengan nada penuh sindiran.

Intervensi terhadap kerja jurnalistik bukan hanya tanda ketidakmampuan menerima kritik, tetapi juga gejala otoritarianisme yang harus diwaspadai. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang bebas, bukan media yang harus lolos sensor ajudan sebelum terbit.

"Kami akan terus menjalankan tugas kami. Jika ada yang merasa terganggu dengan kerja jurnalis, mungkin karena ada yang tidak ingin masyarakat tahu kebenaran," tutup M. Raup.

Pertanyaannya sekarang, apakah insiden ini akan ditindaklanjuti atau hanya akan menjadi angin lalu? Karena kalau dibiarkan, bisa jadi ke depan jurnalis harus meliput dengan surat izin dari ajudan bupati dulu. (TIM/Red)

Narasumber: Ketua Pokja Wartawan KBB/Liesnaegha. Tim Red: Liesnaegha - Syarif Al Dhin
×
Berita Terbaru Update