Jakarta, neodetik.news //
Ada sebuah kenyataan tragis yang dialami oleh kita semua sebagai warga negara Indonesia selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, yang mana jika dijabarkan, akan menghasilkan kenyataan-kenyataan tragis yang lainnya. Silahkan diingat, sudah berapa kali aturan terbit tentang pembatasan berekspresi di media sosial? Kita diwajibkan untuk melakukan registrasi ulang kartu seluler dengan memasukan NIK dan Nomor KK, memasukkan identitas ketika ingin membuat akun media sosial, pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), hingga munculnya UU ITE.
Aturan-aturan serta pembentukan Badan tadi dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, namun, dengan dalih untuk melindungi data pribadi kita semua. Sedangkan pada faktanya, data diri kita sudah lama sekali diperjualbelikan, bahkan yang paling TOLOL yaitu, situs Menkominfo diretas oleh hacker.
Coba pikir, bagaimana bisa pemerintah menyuruh kita untuk input data diri ketika melakukan registrasi dengan dalih “melindung” sedangkan, dalam waktu yang bersamaan data pribadi kita diperjualbelikan, bahkan situs pemerintah diretas oleh hacker?
Fakta di atas merupakan sebuah anomali di tengah carut-marutnya birokrasi di Indonesia, kebijakan yang tumpang tindih, hingga tidak adanya transparansi selama kepemimpinan Joko Widodo. Nah yang jadi pertanyaan selanjutnya, “Bagaimana bisa Indonesia mengklaim sebagai negara yang demokrasi, sedangkan fakta di lapangan, transparansi yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi sangat minim sehingga menciptakan banyak sekali pelanggaran, di antaranya:
PELANGGARAN DALAM PEMINDAHAN IBUKOTA
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara di Kalimantan Timur telah menimbulkan kontroversi terkait pelanggaran hak konstitusi, khususnya mengenai hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik. Pasal 28A dan, Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
Namun, proses pembangunan IKN telah dikritik karena tidak melibatkan partisipasi yang efektif dari masyarakat adat dan lokal yang terdampak langsung, yang dapat dilihat dari absennya konsultasi dan proses demokratis seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Selain itu, pembangunan IKN dianggap telah menabrak prinsip-prinsip lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, karena daerah tersebut raya didominasi oleh hutan dan lahan adat yang seharusnya dilindungi.
Penggusuran yang dilakukan untuk membuka jalan bagi pembangunan IKN dan eksploitasi sumber daya alam secara sistematis dianggap melanggar hak masyarakat atas tempat tinggal dan keberlanjutan hidup mereka. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta kekayaannya," yang bertentangan dengan tindakan penggusuran tanpa adanya kompensasi yang adil atau relokasi yang layak.
Eksploitasi sumber daya alam, termasuk konversi lahan besar-besaran untuk proyek IKN, telah dikritik karena tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat atas wilayah mereka, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Kritik terhadap proses ini datang dari berbagai sumber, termasuk organisasi seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), yang telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut peninjauan kembali atas Undang-Undang IKN.
PEMBUNGKAMAN
Nah, mungkin ada banyak di antara kalian yang belum mengetahui tentang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada tahun 2019 di Indonesia menjadi subjek perdebatan, karena dianggap mengandung "pasal karet" yang ambigu dan dapat digunakan secara selektif untuk membatasi kebebasan berekspresi serta menekan oposisi politik.
Pasal-pasal ini, didalamnya terdapat tentang pasal penghinaan terhadap presiden (Pasal 219), penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 241), dan penghinaan terhadap pengadilan (Pasal 280), yang dirancang dengan kata-kata yang cukup luas, yang memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda dan seringkali digunakan untuk menyeret orang ke pengadilan atas dasar yang subjektif.
Selain itu, kriminalisasi demonstrasi tanpa izin (Pasal 150) juga dianggap sebagai mekanisme untuk membungkam suara oposisi, karena memberikan kekuasaan kepada aparat keamanan untuk dengan mudah menangkap dan menuntut peserta demonstrasi yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Dalam teori horizontal accountability yang sudah saya jelaskan tadi, pasal-pasal di atas bertentangan dengan prinsip-prinsip horizontal accountability, di mana lembaga-lembaga negara seharusnya saling mengawasi dan mempertanggungjawabkan tanpa penyalahgunaan kekuasaan. Guillermo O'Donnell, yang mengemukakan teori ini, menjelaskan bahwa horizontal accountability diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada lembaga yang menjadi terlalu dominan atau korup tanpa adanya pengawasan yang efektif.
Namun, dalam konteks KUHP 2019, pasal-pasal karet tersebut justru dapat melemahkan horizontal accountability dengan memberikan alat bagi pemerintah, atau pihak berwenang untuk melakukan represi terhadap kritik politik dan aktivisme, sehingga membahayakan kebebasan sipil dan jug demokrasi di Indonesia.
DINASTY POLITIK JOKOWI
Jika kalian tidak lupa, Jokowi disebut sedang berusaha membangun dinasti politik di Indonesia melalui penempatan anggota keluarganya dalam posisi strategis. Tudingan ini muncul ketika anak-anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, mulai terlibat di dalam kancah perpolitikan. Gibran, misalnya, menjadi Wali Kota Solo dan kemudian mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, dengan adanya kontroversi mengenai perubahan aturan usia oleh Mahkamah Konstitusi, yang diketuai oleh paman Gibran sendiri, yaitu Anwar Usman. Langkah ini dilihat oleh banyak pihak sebagai upaya Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di dalam politik Indonesia setelah masa kepresidenannya berakhir, yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menitikberatkan pada kesetaraan kesempatan dan meritokrasi.
Manipulasi politik yang dilakukan oleh Jokowi untuk membangun dinasti politiknya bisa dianalisis melalui teori "patronage politics" atau politik patronase, di mana kekuasaan politik dipertahankan atau diperluas melalui jaringan loyalitas dan kepentingan pribadi. Jokowi, yang awalnya dikenal sebagai tokoh reformis tanpa ikatan kuat dengan oligarki politik atau militer, kini dikritik karena menggunakan strategi ini untuk memperkuat posisinya dan keluarganya di dalam sistem politik. Teori ini menunjukkan bahwa ketika pemimpin menggunakan kekuasaan untuk menempatkan keluarga mereka dalam posisi kunci, hal itu bisa mengancam demokrasi karena mengurangi ruang bagi kompetisi politik yang sehat dan transparan.
Selain itu, fakta tadi juga bisa dikaji melalui lensa teori "state capture", di mana individu atau kelompok menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, sehingga mempengaruhi kebijakan publik dan melemahkan institusi demokratis. Nah tentang Jokowi ini, kritik muncul dari kalangan masyarakat luas karena adanya dari pengaruh “keluarga Widodo”, terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan adanya "capture" atau penguasaan terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya independen. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap integritas proses demokrasi dan menimbulkan potensi untuk regresi demokratis, di mana demokrasi tidak lagi berfungsi untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan sekelompok elit.
Konsekuensi dari tindakan manipulasi politik ini tidak hanya berpotensi merusak reputasi demokrasi Indonesia di mata dunia internasional, tetapi juga mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem politik di dalam negeri.
PSN DAN PELANGGARAN UUD 45
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2016 yang mengatur tentang PSN, telah menjadi pokok perdebatan karena dianggap melanggar UUD 1945. UUD 1945, sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia, menetapkan bahwa pembentukan UU harus melalui proses legislatif yang melibatkan DPR, seperti yang termaktub dalam Pasal 20 ayat (2). Namun, dengan adanya kewenangan yang memungkinkan PSN untuk mempercepat proses tanpa melalui proses legislatif yang lebih panjang, Perpres ini dianggap melewati mekanisme demokratis yang ditetapkan dalam konstitusi, sehingga melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan pemisahan kekuasaan.
Perpres tentang PSN tadi juga dikritik karena melanggar prinsip kepastian hukum sebagai salah satu prinsip dasar di dalam negara hukum, yang menuntut bahwa suatu regulasi dan kebijakan haruslah jelas, dapat diprediksi, dan konsisten. Penetapan PSN melalui Perpres tanpa proses legislatif yang menyeluruh menciptakan ketidakpastian hukum, karena tidak ada jaminan bahwa kebijakan tersebut telah melalui debat dan penyempurnaan yang memadai. Nah, di dalam teori tentang kepastian hukum, seperti yang dijelaskan oleh jurist Lon L. Fuller dalam "The Morality of Law", menekankan bahwa hukum harus dibuat dengan cara yang memungkinkan warga negara untuk memahami dan mematuhi aturan-aturan tersebut dengan adil.
Proses legislatif yang biasanya melibatkan konsultasi publik, pembahasan di komisi DPR, dan tahapan lain yang memungkinkan partisipasi dari berbagai kelompok masyarakat, diabaikan dalam konteks PSN. Hal ini, bertentangan dengan prinsip demokrasi partisipatif yang menekankan tentang pentingnya keterlibatan warga/masyarakat dalam pengambilan keputusan publik.
Selain itu, penentuan PSN melalui Perpres mengabaikan prinsip checks and balances yang ditekankan dalam UUD 1945. Checks and balances adalah sistem di mana cabang-cabang pemerintahan saling mengawasi dan membatasi kekuasaan satu sama lain untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Dengan mempercepat proses pelaksanaan proyek di PSN melalui Perpres, kekuasaan eksekutif menjadi terlalu dominan tanpa pengawasan yang cukup dari legislatif atau yudikatif.
Dan masih bejibun pelanggaran maupun kebohongan nya baik yang terang benderang maupun yang masih disembunyikan, namun demikian sejak rezim Jokowi berahir, pelan tapi pasti publik mulai sadar betapa bobroknya rezim Jokowi selama ini.
KESIMPULAN
menyoroti berbagai kritik terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Jokowi selama kepemimpinannya. Jokowi telah menggerus prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi Indonesia melalui berbagai kebijakan dan tindakan yang melanggar hak asasi, transparansi, dan integritas demokratis, seperti pembatasan kebebasan berekspresi melalui regulasi media sosial dan UU ITE, serta pembentukan BSSN yang kurang transparan.
Jokowi, yang dulunya dikenal sebagai “The New Hope”, berubah menjadi Pelacur di dalam Demokrasi melalui berbagai kebijakan yang ia buat tanpa proses checks and balances, seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Nah anehnya, pendukung Jokowi selalu saja denial, mengaburkan fakta-fakta tentang pelanggaran per pelanggaran yang dilakukan oleh Jokowi selama 10 tahun memimpin Indonesia.
Dan, grafiti maupun tagar #TangkapJokowi #AdiliJokowi yang bertebaran di media sosial dan tembok-tembok pinggir jalan, adalah bentuk kemarahan publik terhadap pelacur demokrasi ini. Nah yang jadi pertanyaan, “Apakah aparat penegak hukum di Indonesia berani mengadili Jokowi atau, biarkan rakyat saja yang menawurnya?”. Biarlah semesta menjawabnya..
Sumber : Hara Nirankara
Reporter : Sudarsono Dars