Jakarta,neodetik.news _Husaini Daud (M. Nazar) menyuguhkan tulisan artikel menarik judul: “Bola Panas Aceh Serambi Mekkah di Ujung Barat dan Manukwari Kota Injil di Ujung Timur”.
Menarik karena membuka kedok jargonisasi “indah” mengandung racun karena menyimpan bom waktu adalah pemakaian agama sebagai belenggu kebebasan manusia.
Tak lupa dia titip pesan agar saya tetap idealis. Tulisan ini respon saya. Insya Allah, idealisme saya belum luntur. Saya tetap idealis.
Saya bangga sebagai Muslim Papua, walau kadang keluar batas dogma, dan kepercayaan setelah mati atau rukun iman (mungkin murtad).
Karena itu terlebih dahulu disini saya mohon maaf kepada semua pemeluk Agama, saya menulis tidak sebagai seorang pemeluk agama, agama apapun, saya ingin keluar dari dogma pembenaran agama.
Saya menyoroti sebagai pihak luar (out side), bukan sebagai penganut salah satu agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam), dan agama bumi Hindu, Konghucu dan Budha.
Saya "keluar" agar netral agama. Agar memikirkan idealisme Papua lepas-bebas. Dalam tulisan ini saya ingin mencampakkan dogma agama membelenggu kebebasan berfikir saya untuk mengembangkan idealisme Papua.
Walaupun sejak awal orang ragu mengambil posisi adil-seadilnya dalam agama sulit, karena kita sudah terlibat didalamnya. Namun disini saya tetap berposisi sebagai masyarakat adat Papua untuk berhadapan agama semitisme.
B. Refrensi Pemikiran
Refrensi bacaan saya ambil dari pemikiran teolog, teolog semua agama. Misal pemikiran, Martin Luther Jr (Pendeta kulit Hitam Amerika) dengan konsep Integrasi dalam politik rasialisme Amerika tahun 1930-1950-an, Uskup Bello, idola saya, dari Timor Leste, dan Desmon Tutu dari Afrika Selatan.
Saya baca riwayat para sufi Islam abad tengah (abad 7-15), Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Robiah, Jalaluddin Ar-Rumi, dan Nasaruddin Hoja dengan kisah-kisah jenaka bijaknya dll sekedar contoh menyebut beberapa nama.
Dalam banyak kesempatan saya baca demokrasi dan pemikiran inclusive Muhammad Hatta, Ca-Nur, Gus-Dur, Romo, Frans Magnis, (Katolik) berkenalan pemikiran filsafat Barat. Demikian Muhammad Hatta “Alam Pikiran Yunani”, dan Harun Hadiwijono, (Filsafat Barat) memperkenalkan filsafat Yunani kuno dari Thales sampai Aristoteles.
C. Pemikiran Islam klassic
Selanjutnya Ibnu Rusyd, seorang Filosof independent Andalusia (Spanyol) ketika berhadapan dengan ulama Asy-‘Ariyah dan Imam Al-Ghazali dari Baqhdad (Irak) dalam bagian berikut ini.
Sebelum pembahasan bapak sosiolog Muslim pertama dan utama Ibnu Kholdun dari Aljazair, Afrika Utara, sebelum Aguste Comte, yang secara sempurna mengamati watak manusia mau diutarakan dulu disini.
Ibnu Kholdun menulis buku (kitab) Muqoddimah dari hasil observasi dan penelitian pengalaman hidup manusia, yang menunjukkan bahwa suku Baduy temperamen keras dan kasar terbentuk oleh lingkungan alam. Mereka kasar, kurang tahu sopan dan liar daripada masyarakat urban Kota Basrah yang lebih beradab.
Masyarakat pesisir memanggil berteriak dipengaruhi gelombang ombak berwatak, langsung-tanpa basa-basi, permisi, tanpa sopan santun lebih dulu.
Berbeda dipegunungan tanpa suara bising, memanggil dari satu bukit ke bukit sebelah angin antar suara terdengar.
Ibnu Kholdun berkesimpulan watak dan kepribadian manusia dibentuk alam sekitar tempat tinggal kehidupan.
Manusia, binatang (hewan) dan tetumbuhan menunjukkan sifat adaptif dalam perkembangan habitatnya.
Demikian kesimpulan dalam pengamatan bapak sosiolog pertama dunia dalam kitab Al-Muqoddimah-nya.
Teori Ibnu Kholdun dipelajari lalu dikembangkan lebih lanjut, Aguste Comte (Prancis). Dia membagi tahapan perkembangan manusia tiga tahap.
Yaitu tahap mitologi, agama dan modern (rasionalisme) adalah tahapan perkembangan manusia.
Darwin merujuk pada ragam spesies dari satu leluhur yang sama.
Sekitar satu milenium sebelum Charles Darwin, seorang filsuf Muslim yang hidup di Irak, al-Jahiz, telah menulis buku tentang proses evolusi binatang.
Seleksi alamiah
Al-Jahiz menyebut proses itu sebagai sebuah proses natural.
Nama asli filsuf itu sebenarnya adalah Abu Usman Amr Bahr Alkanani al-Bisri. Namun sejarah mencatatnya sebagai al-Jahiz.
Jahiz dalam seri Kepribadian Islam.
Al-Jahiz lahir tahun 776 di kota Basra, Iraq bagian selatan. Saat itu, gerakan Mutazilah yang mengutamakan akal ketimbang tradisi tengah berkembang di Basra.
Ketika al-Jahiz lahir, Basra berada di bawah kepemimpinan khalifah Abbasid. Kala itu, karya ilmiah berbahasa Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Polemik tentang agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat yang terjadi pada era tersebut lantas membentuk pola pikir al-Jahiz dan belakangan membantunya mengembangkan gagasan ilmiah.
Kemudian Carles Darwin experimennya di Kepulauan Galapagos dengan teori Evolusi menghebohkan itu.
Saya kagum argumentasi sistematis Imam Al-Ghazali (w. 1111), meruntuhkan filosof muslim yang mendahuluinya adalah kelebihan tersendiri, sehingga seorang pengamat filosof muslim abad pertengahan dari Barat pernah menyebut orang besar setelah Nabi Muhammad SAW adalah Imam Al-Ghazali.
Dan disini saya juga mau tambahkan bahwa filosof terbesar dunia muslim dan komentator ulung yang mempengaruhi wacana dan mengantarkan era pencerahan di Barat-Eropa adalah Ibnu Rusyid (Averrus) dan aliran filsafatnya di Eropa disebut Avveruisme.
Karya buku Al-Ghazali banyak misalnya Al-Mustasfa, Mi’yar Al-‘Ilm tapi yang paling utama adalah kitab Ihya ‘Ulumuddin. Ghazali meninggalkan jabatan prestegious dan kehidupan mewah di Baghdad Irak berkelana sampai ke Mesir, Siria dan terakhir mengunjungi Masjid Al-Aqsho menetap dan meninggal di Palestina dalam pengembaraan kehidupan sufinya.
Konsep Imam Al-Ghazali, Ma’rifah (pengenalan) atau lengkapnya ma’rifatullah, yaitu suatu pendekatan jalan menuju Tuhan sedekat-dekatnya untuk menyatu mencintainya adalah dengan jalan “pengenalan”. Tak kenal maka tak sayang, tapi kalau kenal maka muncul rasa sayang, mungkin bahasa gampangnya demikian.
Menurutnya oleh sebab itu untuk dicintai atau mencinta Kekasih Abadi (Tuhan), harus bergaul dekat-sedekatnya antara hamba dan Tuhan.
Dan terakhir saya lebih menyukai Ibnu Rusyid daripada, tapi juga menyukai Imam Al-Ghazali. Dalam ilmu kalam Ibnu Rusyd sangat mengagumkan.
Ibnu Rusyd pertahankan argumentasi wujud Tuhan dengan rasional murni (aqli) daripada naqli (Qur’an-Hadit), seperti madzhab Asy'ariyah yang dianut Imam Al-Ghozali dan mayoritas muslim Asia Tenggara, (Indonesia, Philipina, Thailand, Brunai Darussalam dan Malaysia) termasuk Papua. Itulah alasan utama saya lebih menyukai Ibnu Rusyid dari lain.
Jika diamati, sesungguhnya Al-Ghazali sangat paham para filofot Yunani kuno, lebih khusus filsafat Plato dan Aristoteles soal logika (mantiq). Hal ini terlihat kitab karangannya judul Al-Mi'yar Al-'Ilm.
Disitu Imam Al-Ghozali membuktikan meragukan panca indera, sebab kebenaran panca indera (mata, telingga, lidah, hidung dan kulit) seringkali menipu, demikian contoh manusia dilihat dari jarak tertentu seperti semut, kecil.
Al-Ghazali, dalam kitab Al-Mi’yar Al-‘Ilm berpendapat kebenaran melalui panca indera sebagai alat rasionalisme para filosof beraliran Aristoteles disangsikan hujjah (argumentasi) kebenaran demi kebenaran itu sendiri.
Karena itu baginya satu-satunya jalan menemukan kebenaran manusia butuh wahyu dengan jalan iman pada rukun islam yang enam. Sebab tanpa bantuan iman manusia tidak sanggup menemukan kebenaran hakiki. Dan jalan menuju kepada kebenaran hakiki (Tuhan) itu adalah dengan jalan sufi.
Karena itu tidak disangsikan lagi bahwa Ghazali sangat rasional dan logis dalam usaha meruntuhkan argumentasi para filosof.
Al-Ghazali dalam kitab At-Tahafut Al-Falasifah, menyatakan yang menyebabkan para filosof KAFIR karena menyangsikan 20 sifat Allah, sebagai sebab musabab.
Demikian yang berkembang pada abad pertengahan dalam kajian ilmu kalam. Termasuk qodim atau hadits (baharu) penciptaan alam perdebatan antara kaum Mu’tazilah disatu pihak dan para ulama Qodariyyah serta Asy-‘Ariyah dilain pihak dan Jabariyyah dan Jahamiyyah dalam berbagai masalah ‘aqidah oleh para filosof dan teolog muslim di abad ke 7-15 masa kejayaan peradaban Islam.
Walaupun dia tidak mengambil sumber logika dan filsafatnya langsung dari para filosof Yunani, terutama karya Plato dan Aristoteles, tapi melalui karya Ibnu Sina dan Al-Farobi -keduanya dikenal filosof muslim di Timur.
Imam Al-Ghozali disanggah Ibu Rusyd. Menurutnya Al-Ghozali salah mengerti maksud Ibnu Sina dan Al-Farobi, terlihat pembelaan Ibnu Rusyd dalam kitabnya yang terkenal "At-Tahafut wat-Tahafut (kekeliruan dalam kekeliruan) karena itu tidak etis cara demikian.
Ibnu Rusyid menuduh Al-Ghazali mengunakan ilmu logika dan filsafat Aristoteles dari pihak kedua salah dimengertinya untuk mengkafirkan para filosof, adalah tindakan tidak adil terhadap filosof wilayah Timur (Basrah, Irak) dan Barat Islam (Andalusia, Spanyol).
Imam Ghozali, pakai ilmu logika dan filsafat Yunani hanya sebagai pisau untuk membabat pemikiran para filosof, terutama berhadapan dengan para filosof muslim wilayah Timur (Ibnu Sina dan Al-Farobi).
Karena itu kitab Ihya ‘Ulumuddin- nya, Imam Al-Ghazali, sebahagian Cendekiawan Muslim abad 21 ini dianggap penyebab kematian progresifitas, nalar dan pikir kaum muslimin hingga peradaban Islam mundur diambil alih Barat melalui peralihan Ibnu Rusy di Spanyol Islam.
Bahkan, Ihya 'Ulumuddin dianggap sebagai "biang kerok" kemunduran peradaban kemajuan abad tengah kaum muslimin hingga dewasa ini menjadi terbelakang berhadapan dengan kemajuan scince dan technologi Barat.
Demikian beberapa cendikiawan muslim, tapi karya magnum opus, Al-Ghazali, Ihya 'Ulumuddin, karya agung menuju ma'rifatullah. Imam Ghozali memghidupkan spritual mistisme yang inklud dalam budaya Persia yang tinggi.
D. Idealisme Papua
Persoalan idealisme Papua secara rasional (akal sehat) saya berkeyakinan bahwa selama manusia Papua ada, idealisme Papua merdeka tidak akan mati, sampai kapanpun, orang Papua tetap menuntut Papua merdeka.
Idealisme Papua merdeka secara terus-menerus diperjuangkan antar generasi, sepanjang masa, sepanjang hayat masih dikandung badan. Hari qiyamah (kiamat) kurang lebih dapat dipahami disini, bukan menunggu ketidakpastian “kehadiran”, (Tuhan dan segala bentuk konsep eskatologi lainnya).
Bagi penulis hari "qiyamah" dimaksudkan, jika benar bahwa tidak pernah benar ada tapi akhir dari kehidupan manusia adalah misteri kematian pribadi-pribadi, atau Qiyamah dimaksudkan (negara Papua berdiri) merdeka.
Stagnasi idealisme pembebasan Papua secara holistik lebih banyak sebabnya karena metoda perjuangan dari konsepsi asing. Sehingga gerakan massal rakyat tidak muncul karena penerapan konsep mesianistik,"perjuangan damai".
Karakter asli Adat Budaya Papua tegas, kokoh, keras, dan penakluk. Penerapan konsep perjuangan asing dan bukan dari semangat dan mentalitas rakyat yang hidup dan berkembang adalah "biang kerok", gagalnya perjuangan penegakan hak asasi manusia Papua hari ini.
Hegemoni budaya baru mengalienasi para tokoh Papua dipengaruhi untuk kompromi.
Sejauh ini hegemoni gerakan perlawanan menerapkan segala konsepsi asing Papua. Konsepsi asing hanya "terbatas" kepengikutan dan pengaruhnya di tingkat masyarakat bawah adalah penyebab kegagalan.
Dominasi budaya asing tidak berdasarkan budaya yang hidup dan yang dianut masyarakat melainkan agama yang parsialistik. Perjuangan gerakan Papua akhirnya terjebak pada elitisme. Hanya terbatas yang mampu menerima dan mengerti dialektika teologi yang sesungguhnya sejak dini di kritik (averrous).
Dialektika konsepsi teolog tidak dipahami oleh masyarakat retorik umum dan kalangan rasionalis (demonstratif).
Akibatnya dialektika monolog, hanya kalangan tengah keatas, kalangan teolog, yang punya akses pengetahuan lain. Rakyat Papua dijauhkan dari diri dan budaya mereka teralienasi.
Perjuangan didominasi budaya asing, malah tidak dipahami, terasa asing oleh semua kelompok atas dan bawah rakyat Papua yang masih menghayati nilai Adat dan Budaya mereka sendiri.
Akibatnya langsung pada mentalitas, kebingungan, devrition, alienation akhirnya orang bicara Papua M itu suatu momok menakutkan bukan hak asasi bebas bergerak sendiri.
Malah sabar, damai Tuhan datang membebaskan hingga perjuangan mati Otsus Papua diberlakukan para tokoh lebih sibuk rebutan jabatan lupa idealisme sendiri.
Rakyat dibuat tidak mengerti Papua merdeka adalah hak dan mereka harus meraihnya kembali karena itu suci (fitrah) alami.
Karena kebebasan adalah hak rakyat Papua wajib meraih atas kebebasannya tanpa takut bersuara kebenaran nurani diri bereksistensi sebagai makhluk mulia dimuka bumi secara bermartabat.
Singkatnya bahwa kesadaran hak politik bebas tidak terbangun maksimal. Bahkan kelompok atas dan bawah tidak terlibat menentukan nasibnya sendiri, tapi hanya bisik-bisik dari mulut-kemulut, siapa melakukan apa dan bagaimana perjuangan Papua.
Perjuangan Papua merdeka yang menjalani hanya kalangan tengah, dialektika teolog. Bukan lagi perjuangan dan perlawanan rakyat semesta.
Sebab kelemahan perjuangan Papua merdeka, menurut saya, gerakan pembebasan bukan dari akar budaya sendiri, budaya Papua, tetapi budaya agama yang asing bagi Papua menyebabkan gerakan perjuangan berjalan stagnan dan akhirnya gagal.
1. Pendidikan
Rakyat Papua yang mayoritas penduduk masih primitive terbelakang secara pendidikan adalah tempat yang empuk bagi sekelompok elit terdidik dan pemerintah melalui aparat koloninya mendorong dan menggiring memasarkan ideologi milik dirinya
Dalam pada itu dominasi kelompok sektarian masuk melakukan hambatan dari dalam dan biasanya lewat lembaga agama apapun. Salah satu contoh yang paling gampang adalah pemenerimaan para tokoh agama agar perjuangan Papua ditempuh dengan perjuangan damai.
Padahal apa yang dimaksudkan dengan “perjuangan damai” tak selalu sejalan dengan budaya dan karakter adat Papua sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan dan mentalitas adat unik sendiri.
Referensi perjuangan damai tidak dimiliki masyarakat Papua, kalaupun ada penerapannya tidak persis yang dihayati rakyat, sementara pelaksanaannya dominan nilai asing agama tak mendasar pijakannya dibumi Papua.
Ketidak merataan intelektual sebagai penyebab kurangnya moralitas pejuang Papua dan lemahnya milintasi rakyat seluruh. Akhirnya para teolog ramai memperebutkan jabatan Otsus Papua.
Para petinggi Papua yang jujur mudah menerima tawaran lain daripada mempertahankan prinsipnya sendiri. Ada harapan pada para teolog, tapi sebagaimana dijelaskan panjang lebar diatas, melangit tidak membumi.
Demikian ini diperrumit lagi oleh para teolog non Papua, yang memiliki idealisme bukan idealisme Papua, karena itu biasanya mereka mau mengiring orang agar Papua dan rakyat bagian tak terpisahkan dari kesatuan bangsa induknya.
Agama mulanya penggerak utama perjuangan Papua Merdeka. Penjajah melihat ini bahaya, maka dimasukilah semua lembaga agama dan dipasang orang-orang non Papua sebagai pejabat di semua lembaga pengambilan kebijakan agama.
Hasilnya semua keputusan lembaga agama sebagai penggerak diintervensi untuk dipatahkan. Dominasi elit berpendidikan Papua dengan konsepsi asing dari agama menjadi parsial tidak konprehenshif sekaligus.
Demikian juga para elit, pemuka masyarakat dan kaum terdidik, saat ini sibuk bicara jabatan, tidak lagi memikirkan apalagi memperjuangkan Papua Merdeka, yakni idealisme sendiri, tapi memperjuangkan idealisme penjajah, sibuk urus pemekaran. Perjuangan dan semangat perlawanan para pemimpin, karena itu harus kembali pada adat dan budaya Papua sendiri.
Jika dibiarkan dominasi agama yang asing sama artinya menunggu pemunahan bangsa dan kekayaan alam, karena mengulur-ulur waktu dan rakyat semakin teralienasi dari akar budaya sendiri. Papua menunggu kepunahan dalam arti sesungguhnya menjadi sama dengan warga Aborogin dan Indian Amerika.
Padahal negara-negara Barat Kristen sebaliknya, revolusi politik di Prancis sebagai gerakan perlawanan terhadap agama (Gereja) yang dominan, telah melahirkan paham rasionalisme. Paham kembali pada apa yang hidup dan nyata di masyarakat bukan idealisme Tuhan.
Laicisme (paham keawaman) di Prancis telah meruntuhkan lembaga otoritas kebenaran mutlak Gereja dan Raja yang dominant adalah awal dimulainya revolusi yang melahirkan paham baru yakni egalitarianisme, humanisme dan leberalisme berhadapan dengan lembaga Gereja dan Raja di Barat-Eropa.
Dominasi dan hegemoni pemikiran rasional averoeisme telah membangkitkan kembali Eropa, dengan konsekuensinya pemisahan antara dua kebenaran, yaitu lembaga gereja dan negara, sebagai kebenaran ganda (double thrush). Demikian akibat ilmu pengetahuan yang mempengaruhi cara pikir Barat Eropa dari abad 12 oleh dorongan pemikiran averroisme (baca Ibnu Rusyd) yang menghegemoni Eropa abad pertengahan.
Pada mulanya oleh Gereja pemikiran rasional Ibnu Rusyd dianggap sebagai "bahaya" dan "kafir". Namun pada akhirnya menjadi dominan di Eropa pada abad pertengahan, apa yang kemudian dinamakan era renainsance melahirkan pencerahan (Aufklarung) di Barat, yang puncaknya positifisme empiris lingkaran Wina (Wina circle).
Demikian kenyataan pembebasan manusia dari ketergantungan pada Tuhan yang berlebih, di Barat melahirkan rasionalisme secular dominan. Dan kemunduran dunia islam yang berlebihan oleh akibat harapan dan ketergantungan nasib pada Tuhan menjadi mundur dan kalah sekarang ini.
Secularisme yang dimensinya adalah, humanisme, liberalisme dan egalitarianisme melahirkan suatu sikap masyarakat rasional di Eropa.
Namun rasionalisme yang melahirkan era modernisme sciance dan tekhnologi Barat yang itu memudahkan hidup manusia menjadi piranti (persembahan) baru bagi masyarakat Barat adalah satu masalah tersendiri di abad ini. Dan hal itu menjadi otokritik di Barat sendiri (Cak-Nur, Religiutitas Masyarakat,1997).
E. Dominasi Agama
Dewasa ini di Barat masyarakat jarang mengunjungi gereja. Gereja adalah museum bagi kaum muda pada hari libur tertentu, dapat di beli imigran Turki, Afrika, Asia atau Timur Tengah untuk dijadikan Mesjid.
Tapi justeru sebaliknya, di Papua semangat primordialisme dikipas-kipasi orang non Papua yang biasanya mendapati diri sebagai minoritas di Indonesia dan di Papua di jadikan sebagai tempat empuk dan mencoba mengindonesiakan orang Papua lewat pendekatan agama dengan label-label aneh kurang disadari para intelektual Papua.
Malah lebih parah lagi hal ini terdapat dalam masyarakat penganut agama Islam. Berbicara tentang Islam dan Muslim, sangat lebih parah dari apa yang dipaparkan mengenai masyarakat pendukung dan pendorong "Manukwari Kota Injil".
Masyarakat Muslim terdiri dari dua kelompok, pendatang dan pribumi. Yang disebut kedua kategorisasi dan sikap serta interpretasi islamnya di bagi lagi dalam berbagai kelompok antara sesat, tersesatkan, dan jahil murokkab (tidak tahu kalau dirinya tidak tahu).
Muslim “amber” mayoritas, penting disadarkan bahwa perjuangan Papua menyangkut kebenaran nilai islam universal, dan juga kewajiban (fardu 'ain) mereka. Jika memahami agamanya secara adil dan benar.
Islam apalagi intrepretasi nilai-nilai kebenaran universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rosul, boleh jadi hasilnya yang ada saat ini amat jauh berbeda yang diharapkan.
Masyarakat amber (muhajirin) sangat amat berbeda dalam banyak hal menyangkut penafsiran dan utamanya pemahaman. Hal ini banyak dipengaruhi faktor sekunder lainnya yang melahirkan sikap apatisme dalam rangka mengambil bagian gerakan perjuangan Papua bagi kalangan “amber”.
Apalagi petugas sebagai alat penjajah yang didatangkan sebagai penjaga kedaulatan wilayah jajahan, bukan menjadi tema yang cocok pembahasan disini.
Kelemahan umumnya Muslim Papua semakin menjadi nyata dengan adanya hegemoni penafsiran Islam tunggal dan diterimanya penafsiran tunggal tanpa reinterpretasi sesuai konteks sosial budaya Papua.