Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Warga Geruduk Kantor Desa Plumbungan, Sampaikan Ketidak Puasan dan Tuntut Transparansi Pelaksanaan pada Program PTSL

Rabu, Desember 25, 2024 | Rabu, Desember 25, 2024 WIB Last Updated 2024-12-25T01:17:50Z
Neodetik.news - Pacitan, Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kembali menjadi sorotan masyarakat. Kali ini, persoalan muncul dari Desa Plumbungan, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan. Puluhan warga Desa Plumbungan yang merasa tidak puas dengan pelaksanaan program tersebut mendatangi kantor desa pada Selasa, 24 Desember 2024, sekitar pukul 10.00 WIB.

Aksi warga yang dikoordinasi oleh Sumawat, Pradip, dan Nur bertujuan untuk menyampaikan sejumlah keluhan terkait pungutan program PTSL yang dinilai terlalu mahal serta kurangnya transparansi dalam pelaksanaannya. Pemerintah Desa Plumbungan merespons aksi ini dengan membuka ruang dialog dan memfasilitasi warga untuk menyampaikan aspirasinya.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Camat Kebonagung, Udin Wahyudi, bersama Kapolsek Kebonagung, Iptu Haming Agus Purnama, dan Danramil Kebonagung sebagai mediator antara masyarakat, kelompok masyarakat (Pokmas), dan pemerintah desa.

Dalam forum dialog, Sumawat, salah satu perwakilan warga, menyoroti besaran pungutan PTSL di Desa Plumbungan yang mencapai Rp 250.000 per bidang tanah. Angka ini dianggap jauh lebih tinggi dibandingkan desa tetangga, seperti Desa Karangnongko, yang hanya menetapkan pungutan sebesar Rp 150.000.

“Kenapa pungutan di Plumbungan ini jauh lebih mahal? Kalau desa Karangnongko saja bisa Rp 150.000, kenapa kita tidak?” ujar Sumawat di hadapan peserta forum.

Selain itu, warga juga mempertanyakan kualitas patok tanah yang digunakan dalam program tersebut. Sumawat mengungkapkan bahwa patok yang disediakan ternyata terbuat dari belahan bambu, yang dinilai tidak sesuai standar.

“Patok tanah ini harusnya kuat dan tahan lama karena digunakan untuk batas tanah selamanya. Tapi ini isinya belahan bambu. Kenapa tidak memberdayakan masyarakat setempat untuk membuat patok sendiri?” tambahnya.

Warga juga menyampaikan keluhan mengenai kebijakan tarif yang dianggap tidak adil. Mereka mempersoalkan adanya perbedaan tarif, yakni Rp 200.000 untuk pembayaran awal (promo) dan Rp 250.000 untuk pembayaran reguler.

“Kenapa harus dibedakan antara yang bayar awal dan yang tidak? Apa dasar kebijakan ini?” tanya Sumawat.

Menanggapi hal tersebut, Aksan, Sekretaris Desa Plumbungan sekaligus Ketua Pokmas PTSL, menjelaskan bahwa besaran pungutan tersebut telah disepakati oleh Pokmas dan perwakilan masyarakat. Perbedaan tarif dengan desa lain, menurutnya, disebabkan oleh kebutuhan operasional yang berbeda, termasuk biaya honor tukang ukur.

“Total kebutuhan pelaksanaan PTSL di Plumbungan sekitar Rp 278 juta untuk 1.800 bidang tanah. Jika dihitung, rata-rata biaya per bidang sekitar Rp 160.000. Tapi kami menambahkan margin untuk biaya tak terduga,” jelas Aksan.

Namun, warga tetap bersikukuh meminta agar tarif pungutan PTSL disamakan dengan Desa Karangnongko, yaitu Rp 150.000.

Setelah melalui mediasi yang berlangsung cukup alot, akhirnya disepakati bahwa pungutan PTSL di Desa Plumbungan diturunkan menjadi Rp 160.000 per bidang. Sementara itu, warga yang telah membayar Rp 200.000 atau Rp 250.000 akan menerima pengembalian dana setelah pembayaran dari seluruh warga selesai.

Kesepakatan ini diterima oleh semua pihak, meski warga tetap berharap ke depan ada transparansi lebih baik dalam pelaksanaan program PTSL maupun kebijakan lainnya.

Selain isu PTSL, pertemuan tersebut juga menyinggung kebijakan penjualan aset desa berupa kayu. Warga mempertanyakan transparansi terkait harga penjualan dan penggunaan hasil penjualan aset tersebut.

Ahmad Thohir, Kepala Desa Plumbungan, menjelaskan bahwa penjualan aset tersebut telah melalui musyawarah dan dituangkan dalam berita acara. Hasil penjualan sebesar Rp 11,5 juta, menurutnya, telah digunakan untuk pembangunan balai desa.

“Kami terpaksa menjual aset desa karena Dana Desa tidak bisa digunakan untuk membangun gedung balai desa,” ungkap Thohir.

Kapolsek Kebonagung, Iptu Haming Agus Purnama, mengapresiasi dialog yang berlangsung kondusif. Ia berharap pertemuan semacam ini menjadi pelajaran penting untuk meningkatkan keterlibatan dan komunikasi antara pemerintah desa dan masyarakat.

“Meski ini bukan demo, kami berharap masyarakat tetap memberikan pemberitahuan kepada pihak kepolisian jika akan mengadakan kegiatan seperti ini di masa mendatang,” imbau Iptu Haming.

Permasalahan yang mencuat dalam pelaksanaan PTSL ini menjadi bukti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap program tersebut agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari. Transparansi, keterlibatan masyarakat, dan pengambilan keputusan yang inklusif menjadi kunci untuk menciptakan harmoni antara pemerintah desa dan warganya.***

Penulis : Jefri Asmoro Diyatno
×
Berita Terbaru Update