Papua ,neodetik.news _Dari judul tergambar ada polarisasi masyarakat Papua antar Wilayah Adat, yakni wacana munculnya kecenderungan politik identitas.
Sejak pemekaran, Daerah Otonomi Baru (DOB), dari satu Propinsi Papua, kini orang sering mempertanyakan asal seorang calon Kepala Daerah, Suku apa, marga apa, agama apa, Wilayah Adat mana dan seterusnya. Intinya seputar aspek primordialisme keabsahan seorang calon pemimpin.
Kini sejak lahirnya DOB Tahun 2023,kebanyakan orang dalam memilih dan memilah bakal calon pemimpin (Kepala Daaerah) sebagai Calon Gubernur dan Calon Bupati berdasarkan atau mengedepankan kriteria Putra Daerah.
Belakangan ini muncul istilah baru OAP (Orang Asli Papua) dari padanan kata Putra Daerah. Calon kalau bukan Putra Daerah apalagi bukan OAP, akan diskwalifikasi dari pencalonan oleh MRP sebagai lembaga refresentasi cultural.
MRP mempertanyakan asal-usul Calon Bupati, Calon Gubernur, darimana, Suku mana, marga apa dan bahkan agamanya sebagai seorang Calon Bupati dan Gubernur.
Kini orang (secara tertutup dan terbuka) ramai bahas, politik identitas, asal usul daerah, marga, suku bahkan agama seorang Calon Bupati dan Gubernur dipertanyakan untuk tujuan dipilih atau ditolak disuatu wilayah (Propinsi dan Kabupaten) sesama Papua.
Pemilihan Gubernur Propinsi induk Papua tak lepas dari issu agama. Seorang Ketua KNPI bahkan dilaporkan ke Polda Papua oleh Ketua GKI Papua atas tuduhan mencemarkan nama baik Organisasi Gereja Kristen Indonesia (GKI)-Papua.
Benturan Adat-Budaya
The Class of Sivilization: "Benturan Peradaban", karya Samuel Phillips Huntington; menggemparkan dunia karena muncul pro-kontra atas tesis itu oleh para pemimpin dunia termasuk para kritikus sosial politik berbagai belahan dunia.
Samuel Philips Huntington (1928-2008), adalah seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat. Dia menulis buku Best Seller, pada Tahun 1990-an judul: "The Clase of Civillization", (Benturan Peradaban). Kontroversi muncul karena dia memprediksi Papua akan lepas dari Indonesia sebagai dampak kecenderungan dunia baru munculnya politik identitas.
Dia memprediksi kecenderungan politik kedepan Tahun 2000 keatas negara-negara bersatu karena pengaruh dua Ideologi Komunis dan Kapitalis pasca runtuhnya Uni-Soviet Tahun 1992.
Pembentukan negara didunia lebih kearah primordialisme karena unsur persamaan adat budaya, kesamaan bahasa, marga, agama dan sejenisnya, yang intinya nasionalisme akan lebih dipengaruhi aspek primordialisme.
Nasionalisme dan kepemimpinan lebih ditentukan oleh semanagt (spirit) nilai-nilai primordialisme asal usul kawasan seperti kesamaan adat-budaya, bahasa, asal-usul, marga, warna rambut, dan agama.
Indonesia tidak luput dari tesisnya, (karena itu dia dikritik habis oleh kalangan nasionalis) bahwa Papua yang mayoritas ber-agama Kristen lebih berpeluang lepas dari Indonesia yang Mayoritas beragama Islam.
Kecenderungan negara Kesatuan dan persatuan akan ditinggalkan orang bubar, negara baru terbentuk atas dasar persamaan identitas suatu kawasan wilayah, tidak lagi ditentukan oleh paham (ideologi) semu kesatuan dan persatuan berdasar ideologi sosialisme dan kapitalisme, melainkan berdasarkan spirit (semangat) kesamaan identitas primordialisme.
Negara komunis Uni-Soviet bangkrut -runtuh akhirnya bubar, Presiden Mikhail Gorbachev mereformasi ekonomi liberal, Uni-Soviet bubar, tersisa Rusia, dan kecenderungan nasionalisme politik dunia kedepan dipersatukan tidak lagi atas dasar ideologi (Kapitalisme dan Komunisme) melainkan beradasarkan atas kesamaan identitas primordialisme.
Sebelum abad 21, negara-negara dunia terbentuk kecenderungannya dipengaruhi atau didukung oleh dua kekuatan politik super power antara Kapitalis Amerika dan Komunis Uni-Soviet yang Sosialis.
Respon saya atas tulisan Yang Mulia (YM) Ketua II Anggota Majelis Rakyat Papua Propinsi Papua Pegunungan. tidak pada pro kontra, setuju-menolak, mendukung atau tidak mendukung, tapi lebih pada Das Sollen dan Das Sein.
Das sein adalah realitas yang telah terjadi.Sementara Das Sollen adalah kaidah dan norma, serta kenyataan soal apa yang seharusnya dilakukan.
Sekali lagi tulisan ini tidak bermaksud menolak atau menyetujui pikiran Ketua II MRP PP sebagaimana judul diatas melainkan lebih pada politice education (pendidikan politik), mengingat kapasitas penulis sebagai Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) PP perlu dikomentari kalau bukan memberikan bobot.
Peran MRP
Majelis Rakyat Papua tak lain sebagai refresentasi cultural rakyat Papua dari Sorong (Raja Ampat), hingga Merauke sebagai satu kesatuan Papua. Intstutusi MRP baru dibentuk dibawah pemerihtahan SBY.
Presiden sebelumnya abai malah khawatir kalau bukan takut meresmikan pembentukan lembaga MRP, walaupun isntitusionalisasi MRP itu sendiri sebagai amanat UU Otsus.
Adapunbeberapa amanat atau kesepakatan antara Pemerintah Pusat (baca Indonesia) dan Papua Tahun 2001 antara lain sbb:
1. Institusionalisasi atau pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) kini ada 7 MRP sesuai DOB
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR,
3. Pelurusan Sejerah Integrasi Paoua kedalam administrasi Wilayah Indonesia,
4. Pembentukan Partai Lokal,
5. Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah,
6. dan pengelolaan Pemerintahan Sendiri.
Dari enam (6) kesepakatan ini tidak satupun dipatuhi secara efektive oleh Jakarta (Indonesia), semua klausul kesepakatan Otsus apalagi sejak diamandement UU Otsus tahap kedua, seolah UU Otsus Papua tanpa bentuk dan sistem sesuai kesepakatan kehadiran Otsus sejak semula. Semua berlaku tak sesuai kesepakatan antara Papua dan Jakarta seperti semula secara seimbang (balance).
MRP DOB
Berbeda dengan MRP Daerah Otonomi Baru (DOB), saat ini, seperti apa tapi kelihatan sangat jauh dibawah normal, kita perlu akui bahwa mutu kwalitas kapasitas intelektualitas akseptabilitas dan akuntabilitas serta rasionalitas personil MRP pertama kwalitasnya sangat jauh diatas dan itu berbeda jauh 180% dengan mutu kwalitas MRP pasca Dr Agus Alue Alua dan Tom Beanal.
Tulisan ini tidak ingin mengupas mutu dan kwalitas MRP DOB, karena penulis menyadari sebagai bagian dari pruduk MRP DOB, namun disini hanya ingin mencoba mereioemndasikan atau memberi saran bahwa untuk kedepan sistem rekruitmen Anggota MRP benar-benar harus sesuai standar dan memenuhi kwalifikasi syarat tertentu agar melhirkan anggota yang bermutu dan bekerja maksimal, minimal Anggota MRP mengerti apa tugas, fungsi, tanggungjawab sebagai Anggota MRP.
Edukasi MRP
MRP sebagai lembaga kultural orang Asli Papua perlu memberikan edukasi (pendidikan politik) mendidik rakyat Papua untuk berfikir dan bertindak secara Papua dalam ke-Papua-an sebagai satu kesatuan Wilyah Papua dan Ras Melanesia.
Perbedaan bahasa suku dan marga tempat lahir dan agama merupakan unsur kebetulan dan alamiah sebagai ciri pengenal bukan pembeda yang harus saling membedakan sesama.
Karena itu memoerkuat tesis Ketua II MRP PP bahwa selain beberapa Bupati asal kelahiran Papua Tengah di Wilayah Pesisir, di Wilayah Papua Pegunungqn juga pernah dipimpin John Ricard Banua dari Serui (Pesisir).
Menurut saya hal inj bukan masalah tapi sebagai Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) tentu tugas dan tanggungjawab kita mengedukasi rakyat Papua secara keseluruhan bukan terjebak apalagi membuat polarisasi sesama rakyat Papua satu sama lain berdasarkan persebaran wilayah.
*Ismail Asso adalah Anggota MRP Papua Pegunungan Pokja Agama, Unsur Agama Islam.