Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Hakekat kepemimpinan dalam Islam, adalah untuk menegakkan hukum Allah SWT. Karena itu, untuk menjadi pemimpin, Islam telah menetapkan kriterianya.
Dalam Islam, syarat untuk menjadi pemimpin Khilafah, atau syarat menjadi Khalifah itu harus: Muslim, laki-laki, Baligh, Merdeka, Berakal, Adil, Memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas Kekhilafahan. Ini berkaitan dengan syarat subjektif, yakni sifat yang harus ada pada calon pemimpin.
Adapun syarat objektif, yakni untuk apa pemimpin dipilih, yakni untuk menegakkan Islam. Haram memilih pemimpin yang menegakkan hukum sekuler.
Dalam Pilpres, Pemilu atau Pilkada, syarat menjadi pemimpin ini tetap berlaku. Jadi, tak boleh memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat: Muslim, laki-laki, Baligh, Merdeka, Berakal, Adil, Memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah kepemimpinan.
Dalam Pilpres, Pemilu atau Pilkada, syarat menjadi pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang komitmen menerapkan syariah Islam.
Jika calon itu bukan Muslim, seperti Dharma Pongruken di Pilkada Jakarta, maka bagi umat Islam haram memilihnya. Jika calon pemimpin itu wanita, juga haram dipilih, seperti Khofifah di Jawa Timur.
Jika pemimpin itu tidak punya komitmen untuk menerapkan syariat Islam, seperti semua calon dalam Pilkada di Indonesia, dimana mereka akan menerapkan hukum sekuler dalam sistem demokrasi, maka haram memilih mereka semua. Karena di akhirat, pilihan atas pemimpin yang bermaksiat kepada Allah SWT, dengan menerapkan UU rakyat, sekulerisme demokrasi, tidak memiliki hujah.
Jadi, asas memilih pemimpin itu Islam. Baik syaratnya memenuhi kriteria Islam. Dan komitmennya untuk menegakkan hukum Islam.
Jangan diubah standarnya, dengan standar yang mengikuti hawa nafsu. Misalnya, kalau tidak ada yang demikian maka demikian, demikian. Lalu, memperkosa kaidah Akhofu Dharrurain. Atau berdalih maslahat, menolak mudharat.
Sederhana saja, kalau tidak memenuhi syarat ya tak usah milih, tak usah nyoblos. Itu lebih selamat, ketimbang memilih pemimpin yang jelas tidak punya komitmen pada Islam, yang hanya berburu kekuasaan, yang menerapkan sekulerisme Demokrasi.
Lantas ada yang berdalih, ustadz yang antum jelaskan itu untuk memilih Khalifah dalam sistem Khilafah, Ini kan Pilkada, bukan Pilihan Khalifah?
Jawabnya, justru karena ini Pilkada, jelas tidak ada kaitannya dengan Islam, maka umat Islam tak perlu terlibat. Golput lebih baik, daripada ikut memilih dan menjadikan pilihannya berkuasa dan menegakkan sistem demokrasi yang sekuler dan zalim.
Justru, energi umat harus diarahkan untuk fokus menegakkan Khilafah. Metodenya mengikuti tharîqah Rasulullah Saw, bukan dengan metode nyoblas nyoblos dalam Pemilu atau Pilkada di sistem Demokrasi.
Lihat saja, sejak dulu milih hasilnya juga sama. Tetap sekuler, tetap Islam dipinggirkan.
Ustadz kalau tidak milih, nanti kekuasaan dikuasai orang kafir. Umat Islam bagaimana?
Saat ini, ikut milih penguasa juga tetap dikuasai orang muslim. Tetapi mereka menelantarkan hukum Islam dan menerapkan sekulerisme demokrasi.
Lihatlah! Pejabat dari Golkar, PDIP, Gerindra, Nasdem, bahkan hingga PKS, PKB dan PAN. Mereka semua mayoritas muslim, tapi mereka semua juga menelantarkan hukum Allah SWT.
Jadi problemnya bukan hanya orang atau pemimpin. Tetapi juga sistem. Selama sistemnya demokrasi, siapapun pemimpinnya, sekulerisme tetap yang diterapkan. Dan itu, bertentangan dengan Islam. [].
Tim redaksi