Jakarta,neodetik.news _Eksistensi perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) di pemerintahan mengalami pasang surut, dan keemasan ditandai pada masa Orde Baru dengan pendirian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993. Selanjutnya, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga negara mandiri yang memiliki mandat berdasarkan empat Undang-Undang, yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Untuk pertama kalinya, Menteri Negara Urusan HAM dijabat oleh Hasballah M. Saad dalam Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, umur pemerintahan Gus Dur hanya berlangsung selama setahun (1999-2000). Ketika era Presiden Megawati, perjuangan HAM mengalami kemunduran, ditandai dengan digabungkannya Menteri Negara Hak Asasi Manusia menjadi "Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia" (2001-2004). Dalam perjalanannya, sampai pemerintahan Jokowi, lembaga ini tetap bergabung dengan nama Kementerian Hukum dan HAM.
Pada pemerintahan Prabowo, Kementerian Hak Asasi Manusia kembali dihidupkan sebagai salah satu nomenklatur dalam Kabinet Merah Putih. Jumlah kabinet Prabowo periode 2024-2029 sebanyak 136 pejabat negara yang menempati posisi menteri, wakil menteri, kepala lembaga/badan, serta utusan khusus presiden. Pelantikan tersebut berlangsung pada Senin, 21 Oktober 2024, di Istana Negara, Jakarta Pusat.
Sehari setelah pelantikan kabinet oleh Presiden Prabowo, sebagai nahkoda baru dengan struktur baru, Natalius Pigai langsung melakukan gebrakan dengan meminta tambahan anggaran sebesar Rp 20 triliun. Permintaan ini didasari oleh keinginan untuk mewujudkan visi Prabowo di bidang Hak Asasi Manusia serta mendukung berbagai program yang berhubungan dengan tugas dan fungsi kementerian tersebut.
Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menginginkan tim transisi merombak anggaran kementeriannya, karena ia menilai pagu anggarannya sangat kecil. Ia berpendapat bahwa perombakan tersebut perlu dilakukan lantaran Presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian khusus terhadap penanganan HAM di Indonesia. Menurutnya, jatah Rp 64 miliar untuk Kementerian HAM tidak akan cukup untuk mewujudkan visi misi Presiden Prabowo Subianto (21/10 di Kemenkumham).
Pernyataan tersebut sontak menjadi viral dan menuai banyak kritik. "Pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai untuk menaikkan anggaran dari Rp 64 miliar menjadi Rp 20 triliun adalah hal yang tidak masuk akal, dan tidak mungkin dikabulkan oleh Presiden Prabowo, Menteri Keuangan, dan DPR," tulis Dino Pati Djalal di akun X-nya, dikutip pada Rabu (23/10/2024).
Mantan Komisioner Komnas HAM itu ingin anggaran bagi kementeriannya meningkat menjadi lebih dari Rp 20 triliun. Menurut Pigai, pembangunan HAM mencakup banyak hal, baik fisik maupun nonfisik, seperti pembuatan regulasi, perlindungan warga negara, dan pemenuhan hak masyarakat, yang tidak bisa dilakukan dengan anggaran yang kecil. "Kalau negara punya kemampuan, maunya di atas Rp 20 triliun. Saya ini orang pekerja lapangan di HAM, saya bisa, kalau negara punya anggaran," kata Natalius usai acara penyambutan di Kantor Direktorat Jenderal HAM, Jakarta, pada Senin (21/10).
Apa yang sesungguhnya diinginkan Natalius Pigai ketika ditunjuk menjadi “Nahkoda Kapal Hak Asasi Manusia” merupakan bentuk ajakan kepada bangsa Indonesia bahwa saatnya pemerintahan Prabowo Subianto memberikan perhatian besar terhadap permasalahan HAM yang tidak baik-baik saja pasca tragedi Mei saat runtuhnya Orde Baru. Selain itu, ia ingin menyoroti beberapa kasus masa lalu yang mendapat penilaian eksternal dari sorotan internasional, khususnya mengenai dugaan pelanggaran HAM di bumi Papua. Natalius juga ingin menunjukkan bahwa perhatian pemerintah selama ini terhadap persoalan HAM masih sangat rendah, baik dari sisi kebijakan maupun politik penganggaran.
Optimisme Masa Depan HAM
Bagi penulis, pengangkatan Natalius Pigai sebagai Menteri Hak Asasi Manusia oleh Prabowo Subianto membawa optimisme bahwa masa depan HAM akan semakin baik dengan beberapa pertimbangan:
1. Latar Belakang Aktivis Tulen HAM dan Komisioner HAM
Perjalanan Natalius Pigai sebagai aktivis HAM telah membentuk karakter dan mimpinya sejak menjadi aktivis mahasiswa di Yogyakarta hingga dipercaya sebagai bagian dari Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017. Ia senantiasa menyuarakan dan memperjuangkan HAM dalam berbagai kesempatan. Bahkan di era Presiden Joko Widodo, ia sangat kritis terhadap pemerintah terkait penanganan isu HAM. Sebagai mantan Komisioner Komnas HAM, Pigai sering mengkritik kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap masyarakat Papua, wilayah asalnya. Hal ini menyebabkan Pigai kerap berseberangan dengan pemerintah dalam berbagai isu HAM, dan membuatnya sering disorot media nasional maupun internasional.
2. Representasi Masyarakat Papua Terdampak HAM
Papua saat ini harus diakui menjadi sorotan internasional terkait proses kelahirannya untuk bergabung dengan NKRI. Pada 31 Desember 1962, kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua dimulai di bawah pengawasan PBB. Tepat pada 1 Mei 1963, Papua diberikan sepenuhnya kepada Indonesia. Secara historis, bergabungnya Papua ke NKRI menyimpan persoalan yang berpotensi menjadi ganjaran pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, berbagai isu pelanggaran HAM masih kerap terjadi dengan insiden yang dipicu oleh ketimpangan ekonomi, sosial, maupun politik. Ketertinggalan pembangunan di Indonesia bagian timur, khususnya di Provinsi Papua, senantiasa menjadi problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Ketersediaan infrastruktur yang sangat minim disertai dengan sumber daya manusia yang masih di bawah standar pendidikan menjadi persoalan utama di Papua hari ini. Dengan pembentukan lebih banyak provinsi, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya, diharapkan kesenjangan pembangunan dan berbagai pelanggaran HAM dapat diminimalkan. Sebagai representasi masyarakat Papua, Natalius Pigai menjadi simbol untuk memperjuangkan nilai-nilai HAM dan mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bumi Papua.
3. Politik Will HAM Prabowo dengan Astacita
Dalam rangka membawa bangsa Indonesia ke depan selama lima tahun, pemerintahan Prabowo-Gibran telah menetapkan delapan dasar fondasi dengan mencanangkan delapan misi yang disebut Astacita. Misi pertama yang berhubungan langsung dengan Hak Asasi Manusia adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM. Menjadikan HAM sebagai misi prioritas dalam program pemerintah Prabowo memberikan indikasi bahwa HAM akan memperoleh perhatian serius dari pemerintahan saat ini. Misi lainnya secara tidak langsung mencakup:
Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.
Memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Berikut adalah perbaikan kalimat sesuai dengan PUEBI dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar:
Kontroversi Anggaran Rp 20 Triliun
Untuk menjawab dari mana anggaran sebesar Rp 20 triliun bisa didapatkan, sementara Pagu Indikatif DIPA untuk tahun 2025 sudah ditetapkan di DPR sebesar Rp 21,3 triliun untuk Kementerian Hukum dan HAM (sebelum dibagi menjadi tiga kementerian), jika pun terjadi peningkatan anggaran, pengalaman menunjukkan bahwa luar biasa jika bisa mencapai 10% dari anggaran tahun sebelumnya. Beberapa alternatif untuk membiayai anggaran Kementerian Hukum dan HAM di masa depan dapat diperoleh melalui:
1. Kerja Sama Donatur Luar Negeri
Berbagai kerja sama dengan pihak luar negeri, baik antarnegara maupun lembaga donor internasional serta lembaga swadaya masyarakat (NGO), dapat dimanfaatkan. Pada periode Prof. Abdul Hafid Abbas sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM (1999-2000) dan Direktur Jenderal HAM di Departemen Hukum dan HAM (2001-2006), berbagai program besar dibiayai dari donor internasional. Berbagai program sosialisasi, diseminasi, pengkajian HAM, serta kunjungan ke luar negeri untuk studi jangka pendek maupun studi banding banyak dilakukan dan sebagian besar menggunakan anggaran non-APBN atau donatur internasional.
2. CSR Perusahaan/PNBP
Perkembangan bisnis internasional di masa depan tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip HAM dalam proses bisnis suatu perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan besar dengan orientasi ekspor harus menjalin kolaborasi dengan Kementerian Hukum dan HAM sebagai langkah strategis dalam mendorong implementasi nilai-nilai HAM di berbagai lini produksi perusahaan. Perusahaan di masa depan juga menginginkan adanya standarisasi atas implementasi nilai-nilai HAM dalam seluruh proses bisnisnya. Legalisasi atas standar tersebut bisa menjadi syarat dalam perdagangan internasional, sehingga ini dapat menjadi sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) baru bagi negara untuk membiayai berbagai program di Kementerian Hukum dan HAM.
3. Optimalisasi APBN dengan Memangkas Korupsi
Hasil publikasi penelitian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) sebagai lembaga riset independen dan otonom menunjukkan bahwa dugaan tingkat kebocoran negara melalui APBN mencapai 40%. Merujuk pada angka APBN 2024 sebesar Rp 2.802,3 triliun, maka jumlah kebocoran anggaran bisa mencapai lebih dari Rp 1.100 triliun, demikian disampaikan oleh Didin, ekonom INDEF. Dengan asumsi Presiden Prabowo berkomitmen mengurangi korupsi dari kebocoran Rp 1.100 triliun, maka permintaan Natalius Pigai sebesar Rp 20 triliun sebenarnya tidak perlu ada anggaran tambahan jika pengelolaan APBN yang ada saat ini dioptimalkan. Dengan melakukan penganggaran yang lebih ketat dengan asumsi pemotongan anggaran bagi kementerian atau badan sebesar 40%, maka akan ada anggaran Rp 1.100 triliun yang bisa dialokasikan untuk kementerian atau badan baru yang dibentuk Prabowo Subianto. Oleh karena itu, usulan Natalius Pigai bukanlah sesuatu yang irrasional tetapi bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Atas pernyataan Natalius Pigai di awal menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM yang menuai pro dan kontra, pasti akan mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Khusus pengawasan anggota DPR, polemik ini tentu akan mendapat perhatian dari anggota DPR, khususnya Komisi 12 yang membidangi Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang berencana memanggil pada hari Senin, 28 Oktober, ke DPR. Pengalaman menunjukkan bahwa menteri yang tidak memiliki basis partai di DPR dipastikan akan banyak mendapat pertanyaan dan tanggapan.
Sebagai nahkoda, Natalius Pigai tentu telah banyak mengarungi samudera permasalahan HAM, sehingga dengan pengalaman tersebut, ia akan mampu melewati gelombang besar atas pernyataannya mengenai Rp 20 triliun yang dianggap irrasional. Sesungguhnya, pelaut ulung tidak akan terlahir dari laut dan samudera dengan gelombang yang biasa saja. Semoga hak asasi manusia akan menuju ke dermaga keadilan yang memajukan dan mensejahterakan bangsa Indonesia di bawah payung Bhinneka Tunggal Ika.
Sumber: Hasbullah Fudail:
Alumni Kebijakan Publik UI