Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Penegakan Kode Etik Dan Etika Pimpinan DPD RI Sebagai Pejabat Publik

Agustus 05, 2024 | Agustus 05, 2024 WIB Last Updated 2024-08-05T18:54:52Z
Paman Nurlette:Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia.

Jakarta,neodetik.news _Publik kerap kali disuguhkan dengan aneka berita dan ragam fakta tidak sedap tentang pertunjukan ucapan, sikap dan perilaku arogansi wakil rakyat/daerah di dalam ruang persidangan saat membahas kepentingan faksi-faksi. Elit politik yang sering terseret dalam arus kericuhan di ruang parlemen mengkonfirmasikan defisit etika sebagai pejabat publik.

Meneropong gelombang dinamika saat melanda sidang paripurna DPD RI pada Masa Sidang V Tahun 2023-2024 dengan salah satu agenda pengesahan Tata Tertib, sebagai sumber legitimasi percaturan pimpinan DPD RI baru pada bulan Oktober, sangat menyedihkan karena telah melunturkan marwah dan wibawa organ Negara tersebut. 

Disinyalir forum sidang Paripurna diwarnai hujan interupsi, dan terjadi kecelakaan lalu lintas forum hingga upaya penolakan pengesahan Tatib oleh oknum anggota, karena adanya jurang pemisah persepsi dan pandangan yang tajam mengenai Kewenangan pimpinan DPD membentuk Timja untuk merumuskan salah satu norma Pasal krusial perihal larangan calon pimpinan DPD RI tidak boleh melanggar kode etik, dan telah dijatuhkan sanksi etik oleh Badan Kehormatan DPD RI.

Tragedi yang terjadi di sidang Paripurna organ Negara DPD RI mengindikasikan sedang terjadi distorsi, disorientasi dan deviasi terhadap rel-rel hukum yang berlaku dan nilai-nilai etika berbangsa. Hal ini, sesuai potretan irama anggota DPD disetiap dinamika persidangan orientasi melanggar peraturan yang berlaku demi memuaskan libido politik faksi, serta jauh dari nilai-nilai etika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menegakkan Norma Etika Dan Norma Hukum

Secara global pejabat pemerintahan di berbagai Negara saat ini, bukan hanya mengikuti Prosedur aturan main (Rule of The Game) saja, melainkan harus menggunakan etika. Begitu pentingnya etika dalam kehidupan sebuah Negara, sekarang ini hampir semua Negara di dunia berlomba-lomba untuk memperkenalkan sistem etika, yaitu "Etika Pejabat Publik". Sebut saja Negara-negara seperti Inggris, Amerika dan Australia, sudah punya Undang-undang tentang “Ethics of Public Officer”. 

Dalam domestik, Indonesia bukanlah hanya sekedar Negara menjunjung tinggi norma hukum (Legal Norm) sesuai amanat Konstitusi norma Pasal 1 Ayat (3). Tetapi juga menjunjung tinggi norma etika (Legal Ethics), yang dirancang sedemikian rupa, agar dipahami oleh setiap warga Negara Indonesia maupun pejabat publik sebagai cerminan dari "Ethics in Public".

Konstitusi selama ini hanya dipahami sebagai hukum tertinggi, padahal juga sebagai etika tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena konstitusi adalah kesepakatan tertinggi dalam berbangsa yang dituangkan dalam "Rule of the law", sehingga Konstitusi lebih tepatnya disebut sebagai norma tertinggi, baik Itu norma hukum maupun norma etika.

Itu sebabnya, hampir semua Undang-undang yang mengatur organ-organ Negara, baik di rumpun cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif atau organ Negara campuran telah mengadopsi mengenai kode etik dan komite majelis-majelis kehormatan penegak kode etik. Misalnya KY menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, DKPP menegakan kode etik penyelenggara pemilu, MKD DPR RI dan BK DPD RI untuk menegakan kode etik anggota dimasing-masing lembaga.

Karena itu, dalam melaksanakan urusan pemerintahan di internal rumah tangga masing-masing organ Negara, tidak hanya sekedar menegakkan "Rule of Law" tetapi juga "Rule of Ethics". Karena etika lebih luas dari pada hukum yang sempit, meskipun setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, sementara sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. 

Namun, perlu dipahami etika sebagai basis sosial bagi kerjanya sistem hukum, sehingga terkait bursa pencalonan pimpinan DPD RI, syarat dan indikator utama yang digunakan bagi seorang calon ialah selain belum pernah dipidanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, juga tidak pernah melanggar kode etik berdasarkan sanksi dari Badan Kehormatan.

Penegakan kode etik di organ Negara DPD RI sangat penting dan tidak hanya menjadi domain Badan Kehormatan saja, melainkan juga Pimpinan dengan tugas utama membangun sistem, menegakan sistem, memastikan sistem berfungsi, menjadi komunikator dan role model. Lantas bagaimana seorang calon Pimpinan DPD RI diyakini bisa mampu menegakan hukum dan kode etik untuk mewujudkan keadilan di lembaga, sementara ia pernah mendapat sanksi etik. 

Menurut Earl Warren, seorang ahli hukum, yang merupakan mantan ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat ke 14 menyatakan, bahwa "hukum itu mengapung di atas lautan moralitas". Sementara Jimly Asshiddiqie, mengutip pernyataan tersebut menyatakan hukum itu ibarat kapal, sedangkan moralitas ibarat samudera atau lautan. Kapal hukum berlayar tidak akan sampai ke pulau keadilan, jika lautan moralitas menjadi kering.

Etika juga bisa di ibaratkan seperti kompas moral, yang menavigasi kehidupan kita dalam konteks berbangsa dan bernegara. Moral berfungsi untuk membimbing dan menuntun seorang pemimpin mengambil keputusan, dan kebijakan yang tepat dalam situasi sulit.

Kedepannya untuk membangun kepemimpinan DPD yang modern dan bersih, maka aturan hukum yang berlaku perlu ditopang dan dibangun kembali dalam kelembagaan dengan sistem etika publik. Hukum dan etika tidak bisa di lepas pisahkan, keduanya ibarat pondasi dan bangunan, sebab bangunan hukum tidak akan berdiri kokoh jika pondasi etika menjadi rapuh.

Oleh sebab itu, peran dan kiprah nyata pimpinan, Timja dan terutama Badan Kehormatan DPD RI sebagai penjaga martabat, kredibilitas dan integritas lembaga dalam melaksanakan tupoksi penegakan kode etik terhadap calon pimpinan baru tidak cukup dengan pendekatan "Sense of Regulation," tetapi juga harus "Sense of Ethics."

Manifestasi dari tegaknya "Rule of Ethics," maka harapannya pimpinan baru harus menjadi role model, memiliki moral dan mental spiritual yang baik, sebab setiap perilaku, sikap dan ucapan seorang pejabat publik tidak hanya bersandar pada aturan hukum yang berlaku melainkan juga nilai-nilai etika.

Etika Pejabat Publik Dalam Kehidupan Berbangsa

Secara normatif etika pejabat publik sudah termaktub secara eksplisit dalam Ketetapan (TAP) MPR RI Nomor VI/MPR tahun 2001. Etika pejabat publik adalah etika yang selaras dengan visi dan misi Indonesia masa depan dan semuanya terkandung di TAP MPR tersebut. Mulai dari bagaimana seorang pejabat publik harus bersifat jujur, adil, bijak, dan yang paling penting adalah tidak memprovokasi orang lain untuk melanggar aturan demi memaksa kepentingan kelompok. Serta siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan, dan pelanggaran baik secara hukum maupun etika.

Dalam TAP MPR 2001 mengandung nilai-nilai positif dan misi yang harus di implementasikan oleh setiap pejabat publik. Selain ditegaskan sebagai elit politik harus amanah, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan juga harus punya budaya malu. Namun fakta empiris membuktikan budaya malu tersebut, khususnya di organ Negara DPD RI hampir pudar. Contohnya oknum calon pimpinan yang pernah melanggar kode etik, ia berusaha menentang Tatib baru untuk ingin menjadi pimpinan lagi.


Etika anggota dan pimpinan DPD RI sebagai pejabat publik seyogianya diwujudkan dalam bentuk sikap, yang bertata krama dan perilaku politik toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik, serta tidak melakukan kebohongan publik, apalagi melakukan kegaduhan dan melanggar kode etik lembaga, serta melakukan perbuatan tercela yang orientasi dapat merusak kehormatan lembaga.


Mestinya tragedi kericuhan antar sesama anggota pada sidang Paripurna DPD RI masa sidang V 2023-2024, tidak perlu terjadi lagi dalam setiap rapat. Karena rakyat butuh andil dan kontribusi nyata para wakil rakyat dan daerah, bukan sekedar pertunjukan adegan politik demi mendapatkan sensasi ketimbang esensi. 


Wakil rakyat/daerah seyogianya berperilaku terpuji melakukan duel argumentasi dan pertengkaran konsep secara produktif dan konstruktif seputar kemaslahatan rakyat, bukan menciptakan skenario kegaduhan dan merusak hubungan harmonis demi memaksakan syahwat politik kelompok dengan mengabaikan kode etik. Chaos terjadi antar sesama anggota DPD RI di ruang parlemen dan disponsori oleh oknum calon Pimpinan DPD bukti defisit etika sebagai pejabat publik.


Calon pimpinan DPD tidak hanya patuh dan tunduk terhadap rel-rel hukum yang berlaku, tetapi juga melakukan penegakan kode etik sebagai cerminan Etika pemimpin yang melandasi ucapan, sikap dan perilaku seorang pejabat publik. Namun, saat sidang Paripurna banyak anggota DPD yang berargumentasi dan bernarasi sensasi tanpa memahami esensi permasalahan, serta tidak menyadari terjadi implikasi negatif terhadap lembaga.


Bagaimana seharusnya etika seorang anggota DPD sebagai pejabat publik, yang pertama dan utama, adalah harus mempunyai kesadaran etis, memiliki budi pekerti dan mental spiritual. Oleh karena itu, tidak boleh seorang anggota DPD maupun calon pimpinan sebagai pejabat publik dapat mengorbankan etiket atau sopan santun demi memaksa sikap arogansi dalam memperjuangkan kepentingan. 


Dengan demikian, bagi calon pimpinan DPD RI selain memiliki nilai-nilai diatas, juga pentingnya mempunyai kompetensi, kapabilitas, kredibilitas, moralitas dan integritas. Terutama integritas dan moralitas menjadi basis dan menuntun seorang pemimpin untuk melakukan amanat, yang diembankan kepadanya dengan baik dan benar.pungkasnya.



Sumber:paman nurlette 
×
Berita Terbaru Update