Jakarta,neodetik.news _ Hampir di setiap pergelaran ormas sejak 2019 kebencian selalu merebak. Yang sangat menonjol ada tegangan politik intens yang menghunuskan permusuhan terhadap pengurus yang berbeda sebagai yang harus dipojokkan, dimusuhi dan dipencilkan.
Semestinya pencerdasan organisasi atau kepengurusan ormas harus hadir sebagai harapan tentang diskursus kritis yang akan mewarnai pesta demokrasi seperti sekarang ini
Sehingga kita mampu menikmati dan mengucapkan selamat tinggal pada ormas kebencian.
Sangat disayangkan, sejak Pemilu 2019 polarisasi ormas kebencian tak bisa kita lepaskan. Bahkan kebencian selalu dimobilisasi hingga terus membesar sampai 2024 ini.
Kebencian pada awalnya digerakkan oleh hasrat merebut kekuasaan dalam arena ormas atau sebut saja dunia olahraga lalu memasuki semua relung-relung dalam kehidupan dan mengancam sosiabilitas kita. Riak-riak ancaman, konflik memenuhi ruang-ruang publik menggoyang harmoni sosial bahkan keluarga dalam kepengurusan ormas.
kebencian bak air bah mengalir deras menghantam siapa pun yang saling berbeda pilihan
Di dalamnya terdapat eksklusi dan sekat-sekat yang beroperasi menghasilkan dukungan sepihak terutama dari generasi pengurus ,dan floating mass (massa yang belum menentukan pilihan). Ironisnya, alih-alih terwujud suatu solidaritas dan kedamaian, dukungan eksklusif justru semakin menegaskan segregasi (pengelompokan) yang dikukuhkan dinding tebal pemilahan antara “aku” dan “kau”, “kami” dan “mereka”.
Dalam pemilahan tersebut, perbedaan bukan sebagai rahmat yang memungkinkan interaksi, sinergi dan solusi, tetapi sebagai perangkat penyekat. Sangat berlawanan dengan interaksi, sinergi dan solusi. Penyekat adalah suatu tindakan non intercourse; ketika mereka menimbang hanya kesamaan tanpa kesediaan untuk mendialogkan perbedaan.
Aspek resiprokalitas, yang menjadi ciri “rahmat dari perbedaan” justru diarahkan kepada suatu pemencilan dan rasa permusuhan. Debat pun akhirnya bubar dalam kepengurusan maupun anggota anggota nya.
Sadar tidak sadar resiprokal yang berujung pemencilan telah mengancam sosiabilitas.
Orang cenderung kehilangan sikap ramah terhadap pengurus karena terhasut dan terjebak dalam membangun kebencian tadi yang diseret-seret dalam permainan merebut kekuasaan.
Padahal, pelingkupan inilah yang menjadi modal solidaritas, pembentuk pilar dan nilai-nilai persatuan dalam kehidupan berorganisasi
Kebhinekaan telah digerus oleh kepicikan para demagog politik yang berupaya mengidentifikasikan diri dengan kelompok mayoritas, mengesankan diri sebagai pembela kepentingan mereka dan menjanjikan kebijakan-kebijakan yang seolah anti-elitisme.
Gaya populisme ormas ini masih ditambah satu kunci propaganda untuk mengidentifikasi pihak lain sebagai sumber masalah yang harus dimusuhi.
Populisme menjadi masalah dalam ormas manakala populisme dianggap berafiliasi dengan ormas identitas (agama dan budaya); populisme mengancam integritas anggota ormas karena rentan menggiring ketua dan pada perpecahan.
Lebih jauh, ormas identitas dibungkus agama dan budaya memiliki andil besar untuk memantik sentimental dan menarik simpati militan pengikut kelompok identitas tertentu.
Harapan dan Harapan
Realitas yang pahit kadangkala melahirkan hikmah, menjadi pelajaran yang penting. Bahkan tidak jarang kondisi yang pahit tadi melahirkan idealisme baru sebagai harapan masa depan.
Apa yang kita lakukan saat ini akan mempengaruhi masa depan kita nantinya. Jika tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti masa lalu, lakukan hal yang lebih baik dari sekarang.
Oleh karena itulah, pahit membangun kebencian mesti kita akhiri segera, agar kita dapat beranjak menyongsong harapan-harapan organisasi baru. Semangat berjuang saudaraku.
Tim Redaksi