Bogor,neodetik.news _Momentum ini menandai lahirnya gerakan protes rakyat yang memiliki dasar konstitusi. Ketika lembaga legislatif, khususnya DPR melalui Badan Legislatif (Baleg), yang diduga kuat berkonspirasi dengan Presiden melalui ketua partai politik mereka,
Secara terang-terangan berupaya merevisi Undang-undang Pilkada (UU Pilkada) dengan tujuan memuluskan ambisi politik pribadi—dalam hal ini, untuk memastikan putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, lolos sebagai calon kepala daerah—maka mereka telah melanggar batas konstitusional.
Rakyat kini telah muak dengan manuver-manuver politik yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang.
DPR seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga supremasi hukum dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang jelas-jelas sah dan memihak kepada kepentingan rakyat. Bukannya justru menjadi alat untuk mengamankan kepentingan pribadi atau keluarga presiden.
Kemarahan rakyat sejatinya telah muncul jauh sebelum Pilpres 2024. Berbagai kebijakan dan manuver politik yang tampak semakin tidak berpihak kepada rakyat telah memicu keresahan yang mendalam.
Namun, rakyat menunggu saat yang tepat, terutama landasan konstitusional yang kokoh, untuk bangkit dan menuntut perubahan. Kemarahan rakyat ini bisa diilustrasikan seperti kayu bakar revolusi yang kini telah berserakan di pinggir jalan menuju keadilan, menunggu momen yang tepat untuk menyulut api perlawanan.
Momentum ini telah terlihat dengan adanya upaya Baleg menjegal keputusan MK. Inilah saat yang diyakini sebagai modal dasar yang kuat bagi seluruh kekuatan civil society untuk bergerak menegakkan nilai-nilai demokrasi dan kebenaran.
Banyak lembaga civil society, pakar politik, dan ahli hukum tata negara telah memprediksi jauh hari sebelumnya bahwa konflik ini akan terjadi.
Mereka melihat bahwa ada kecenderungan kuat di kalangan oknum legislatif dan partai politik yang mencoba berkolusi dengan Presiden untuk membentuk politik dinasti dan melakukan penyelewengan kekuasaan demi kepentingan kelompok. Hal ini bukanlah sekadar wacana, melainkan kenyataan yang telah terjadi dan tercatat dalam sejarah politik Indonesia.
Contoh konkret dari kongkalikong ini bisa dilihat pada kasus revisi UU KPK pada tahun 2019, di mana DPR dan pemerintah bersatu padu melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi ini, yang disahkan pada 17 September 2019, dipandang banyak kalangan sebagai upaya sistematis untuk mengurangi independensi KPK dalam memberantas korupsi di tingkat elit, termasuk yang melibatkan oknum partai politik dan lingkaran kekuasaan.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses ini termasuk Ketua DPR saat itu, Puan Maharani, yang mendorong agar revisi ini segera disahkan, serta dukungan penuh dari Presiden Jokowi yang akhirnya menandatangani undang-undang tersebut menjadi sah.
Selain itu, pada tahun 2020, muncul kembali upaya sistematis untuk mengonsolidasikan kekuasaan melalui perubahan Undang-Undang Pemilu yang diajukan oleh sejumlah partai politik. Upaya ini, meski tidak berhasil, menunjukkan bagaimana kekuasaan eksekutif dan legislatif bisa bekerja sama untuk merancang aturan yang menguntungkan kelompok mereka sendiri, termasuk dalam mempersiapkan jalan bagi anggota keluarga atau kroni politik untuk memegang jabatan publik.
Keputusan MK mengenai batas usia calon kepala daerah sudah final dan mengikat, tanpa kecuali. Jika DPR terus memaksakan revisi UU Pilkada, ini bukan hanya tindakan inkonstitusional, tetapi juga sebuah pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dengan tegas menyatakan bahwa jika penyelenggara tidak mematuhi pertimbangan hukum MK, calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat akan berpotensi dinyatakan tidak sah. Ini adalah peringatan keras yang seharusnya tidak diabaikan oleh DPR.
Sejarah telah mencatat bahwa sejak 2018, MK telah memperingatkan bahwa setiap upaya mengabaikan putusan mereka akan bersifat ilegal. Revisi yang diupayakan DPR saat ini jelas-jelas mengabaikan keputusan tersebut. Pengabaian ini tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga menghina kecerdasan rakyat yang kian sadar akan hak-hak konstitusional mereka.
Jika DPR tetap memulai langkah ini, mereka harus siap menghadapi konsekuensi serius. Rakyat Indonesia, yang semakin kritis dan terdidik dalam hal konstitusi dan hak-hak demokrasi, tidak akan tinggal diam. Mereka akan bersatu dan bangkit melawan segala bentuk upaya yang merugikan kepentingan bersama demi kepentingan segelintir elit.
Jangan main-main dengan kesabaran rakyat. DPR harus ingat, rakyat sudah muak, dan jika terus diprovokasi, mereka tidak akan ragu untuk memulai gerakan perlawanan yang sah dan berdasar konstitusi.
SBogor, Rabu 21 Agustus 2024,
Sumber: Agusto Sulistio - Pendiri The Activist Cyber